Kereta Api Ekonomi Malam
Suara besi bergesekan antara roda kereta dan rel dari besi menggema di telingaku. Entah kenapa, tiba-tiba aku memutuskan untuk mengeluarkan laptop yang dari tadi kusimpan di dalam ransel. Sudah lama aku tidak merasa seperti ini, perasaan ingin menuliskan kisah-kisah yang kudengar dari sekitarku. Kisah-kisah yang mungkin jika disampaikan tidak dengan cara aslinya tidak akan terdengar menarik sama sekali. Tapi bagaimana memulainya … hmm … mungkin kita bisa mulai dari alasan kenapa aku duduk di kereta ekonomi malam Gajahwong jurusan Yogyakarta ke Pasar Senen.
Hari itu adalah hari Senin. Aku yang berdomisili di Kota Solo harus pergi ke Jakarta untuk sebuah pertemuan yang akan berlangsung keesokan harinya. Pertemuan apa? Yang jelas pertemuan tersebut tidak ada hubungannya dengan cerita ini.
Sudah bertahun-tahun semenjak aku merasakan naik kereta ekonomi, entah kenapa aku tidak lebih sering melakukan hal ini, padahal jelas-jelas setiap pengalamanku naik kereta ekonomi atau bisnis selalu saja dipenuhi dengan cerita-cerita menarik untuk disebarkan ke orang lain.
Jadi ya … malam ini aku akan ke Jakarta dengan kereta yang tiga tahun lalu menjadi sahabat karibku setiap kali aku mau “pulang kampung” ke Jakarta. Layaknya setiap hendak memulai perjalanan dengan kendaraan umum, selalu ada pikiran tidak penting yang menyertaiku. Kira-kira aku akan bertemu dengan seorang Random Cutie tidak ya di perjalanan ini? Walaupun tentu saja dalam hati aku tahu, apa sih yang bisa dilakukan seorang pemuda seperempat abad seperti aku jika tiba-tiba cukup beruntung untuk bertemu dengan Random Cutie.
Setelah terlambat beberapa menit, muncullah kereta Gajahwong yang telah dinantikan oleh ratusan penumpang di Stasiun Tugu Yogyakarta. Begitu masuk, betapa terkejutnya aku dengan penuh dan gelapnya kereta ini. Terakhir kali aku naik Gajahwong, kereta ini masih baru dan diterangi lampu yang cerah. Penumpangnya pun selalu saja sedikit meskipun sedang akhir minggu. Tapi kini, di hari Senin malam kereta tetap terasa sangat penuh.
Ini dia saat-saat penentuan! Siapa kira-kira yang akan duduk di sebelahku?
Aku pun berjalan sambil melirik ke kiri dan kanan, memperhatikan nomor tempat duduk kereta. Ini dia tempatnya!
Aku melanjutkan langkahku untuk melihat siapa yang kira-kira duduk di kursi sebelahku. Seorang wanita tampak menoleh ketika aku berdiri berhenti di samping tempat duduknya. Ah dia pasti juga tengah menunggu-nunggu, kira-kira bapak-bapak menyebalkan atau seorang Prince Charming yang akan duduk di sebelahnya … hmm … aku masuk kategori yang mana ya di matanya?
Wanita itu langsung memalingkan wajahnya ke arah jendela setelah melihatku. Entah dia sedang merasa beruntung, atau malah merasa sedang ketiban sial. Aku pun tidak buang waktu dan segera menaruh tas jinjingku di kompartemen atas, dan kemudian duduk memangku ranselku. Yah setidaknya perjalanan panjang ini akan ditemani dengan suara diam antara aku dan mbak yang manis ini.
Tidak lama setelah aku duduk, giliran penumpang yang akan duduk berhadapan denganku muncul. Kedua penumpang itu adalah seorang gadis muda yang sangat cantik dan ibunya. Wah wah, sepertinya Dewi Fortuna menemani perjalananku malam ini, walaupun setelah turun nanti Dewi Fortuna pasti marah-marah karena kesempatan emas ini aku lepaskan begitu saja.
Setelah kereta mulai berjalan, aku baru menyadari satu hal, kereta ini terasa hidup sekali! Para pengunjungnya mengobrol memenuhi gerbong. Mulai dari obrolan antara ibu-ibu, obrolan antara bapak-bapak, dan …. sebenarnya yang mengobrol hanya ibu-ibu dan bapak-bapak sih, nampaknya ada yang salah dengan generasiku yang begitu duduk langsung menyumpal telinganya dengan earphone.
Melihat posisiku yang menguntungkan ini, tentu saja aku langsung melapor ke grup chatting kantor yang kemudian memicu perbincangan tidak penting, walaupun memang pembicaraan tidak penting adalah topik yang hampir selalu mengisi grup tersebut. Kehabisan kata-kata untuk dikeluarkan, aku pun memutuskan untuk mengeluarkan buku Frankenstein karangan Mary Shelley yang tengah kubaca. Tidak, aku tidak melakukannya agar terlihat pintar di hadapan perempuan-perempuan yang duduk di dekatku, itu cuma efek bonus saja.
Perjalanan berlangsung cukup membosankan, aku pun akhirnya mengikuti apa yang anak-anak generasiku lainnya di gerbong itu lakukan, menyumpal telinga dengan earphone. Aku pun terhanyut dalam kalimat-kalimat Inggris tua membingungkan yang ditulis wanita muda yang hidup lebih dari seratus tahun yang lalu, diiringi dengan lagu “Everlong” dari Foo Fighters yang jelas sama sekali tidak cocok dengan latar cerita Frankenstein.
Ketika lagu selesai, keheningan sesaat dari iPod yang kumiliki mengizinkanku untuk mendengarkan obrolan bapak-bapak yang duduk di sebelahku. Mereka tengah membicarakan batu akik sambil saling pamer cincin yang mereka miliki. What the hell?! Apa yang terjadi selama 4 menit 10 detik lagu “Everlong” dimainkan tadi?!
Perkembangan yang menarik ini langsung membuatku memutuskan untuk mematikan iPod dan mencoba menguping pembicaraan tiga orang bapak-bapak dan satu orang pemuda dari generasiku yang entah sedang disayang atau dibenci oleh Dewi Fortuna malam itu.
Pembicaraan tentang batu akik masih berlangsung seru, tapi aku tidak dapat mengikutinya. Pikiranku malah melayang ke pengalamanku menumpang kereta Gajahwong di bulan Maret 2012. Ketika itu, aku bersama dengan dua orang teman berangkat menuju Jakarta untuk menonton konser toe di Museum Arsip Nasional.
Saat itu aku membawa tas jinjing besar yang begitu dibuka berisi 42 jilid komik Dragon Ball terbitan Elex di awal tahun 90-an, dan tujuh jilid komik Akira yang juga diterbitkan Elex di zaman yang sama. Bawaan unik ini membuat seorang mas-mas di kompartemen seberang tertarik untuk memulai percakapan denganku.
Percakapan yang diawali dengan basa-basi ini tiba-tiba berlanjut ke cerita dari si mas-mas yang mengaku merupakan pemiliki sekolah yang berisi anak indigo dan pernah berpacaran dengan tiga puluh wanita sekaligus! Cerita yang aneh dan lucu, tapi terlalu absurd untuk dijelaskan di sini.
Ketika aku pulang dari nostalgia sesaat tersebut, tiba-tiba saja topik dari bapak-bapak di sebelahku sudah berubah menjadi entah apa. Yang jelas ada perbincangan yang membuat aku betul-betul menahan tawa.
“Kamu pernah makan rawon di (entah aku lupa dia menyebutkan tempat apa),” ujar salah seorang bapak-bapak.
“Wah belum, kenapa memang dengan tempat itu?” jawab bapak-bapak yang dari tadi paling aktif berbicara.
“Yaaah tidak apa-apa sih, lumayan rasanya.”
What the hell?! Terus kenapa perlu kau singgung tempat itu?
Percayalah, ketika kau mendengarnya langsung, rasanya jauh lebih dramatis daripada membacanya di sini. Sumpah.
Tanpa aku sadari lagi, pembicaraan sudah berpindah ke topik lainnya lagi. Kali ini mereka membicarakan tentang kuda.
Oke, batu akik menuju rawon menuju kuda. Indahnya percakapan acak untuk mengisi kebosanan.
Aku sudah tidak mampu mengikuti pembicaraan ini lagi. Bapak-bapak tersebut mengobrol soal kuda blasteran, kuda milik Prabowo, kuda yang dilombakan dan dibawa menggunakan kereta dari satu tempat ke tempat lainnya, dan lain sebagainya. Tinggal menunggu hitungan detik sampai mereka mulai membicarakan unicorn, Pegasus, atau My Little Pony mungkin.
Aku semakin tidak fokus membaca Frankenstein. Isi kepalaku sudah berteriak-teriak menyuruhku untuk menutup buku, membuka laptop, dan mulai menulis apa yang tengah kualami ini. Setelah membaca satu paragraf saja sudah memakan waktu lebih dari lima menit, akhirnya aku putuskan untuk menutup buku, membuka laptop, dan mulai menulis apa yang tengah kualami ini.
Dan di sini kita semua berada sekarang. Saat-saat ketika aku membuka tulisanku ini. Entah ini cerpen, atau sebuah diari.
Otakku sudah tidak memedulikan para Random Cutie yang duduk di sekitarku dan malah amat sangat berminat dengan Random Chatty yang terjadi di kompartemen seberang. Aku pun mulai menulis dan menulis sampai akhirnya perutku mulai keroncongan.
Aku harus ke gerbong restorasi. Duduk di sini saja tidak akan membuat ceritaku menarik.
Aku bangun dari tempat dudukku, dan mulai berjalan ke gerbong restorasi yang, menurut informasi dari petugas kereta, terletak lima gerbong dari sini. Oke, itu perjalanan yang jauh.
Selama perjalananku, aku merasa seperti seorang bocah yang tengah menikmati wahana Istana Boneka yang ada di Dunia Fantasi Ancol. Berbagai pemandangan unik mengisi perjalananku. Mulai dari orang-orang yang tidur menghalangi koridor, orang-orang lainnya yang tidur di kolong kursi, sekelompok pemuda yang menyalakan laptop dan menonton film bersama-sama di kereta, dan tentunya para Random Cutie yang kulalui di sepanjang perjalanan. Hmm, Kutie Api Ekonomi sepertinya akan menjadi judul yang cocok untuk cerita, atau entah apa, ini.
Aku pun sampai ke gerbong restorasi yang ternyata tidak memiliki kursi sama sekali. Hidangan pun aku nikmati sambil berdiri, rasanya jelas berbeda dengan makan sambil berdiri di pesta pernikahan. Selesai makan, aku dengan santainya berdiri sambil menghabiskan kopiku yang masih sangat panas, dengan Frankenstein menemani tentunya.
Begitu selesai, kereta tengah berhenti di Purwekerto. Banyak orang yang turun baik untuk merokok ataupun sekedar stretching saja. Aku pun berjalan kembali ke gerbongku lewat luar kereta demi menghindari banyaknya orang-orang bertiduran di kereta. Sampai di gerbongku, aku sudah disambut dengan para Random Cutie di dekatku, bau tidak enak yang tiba-tiba saja mengisi gerbong, dan tentunya semangat baru untuk melanjutkan cerita.
Begitu duduk dan menyalakan laptop lagi, aku tiba-tiba berpikir, cerita ini membosankan, siapa yang mau membacanya? Dengan diserangnya otakku dengan realisasi ini, aku pun sedikit pundung. Yaaah, anggap saja satu jam terakhir itu hanya waktu untuk mengisi kebosanan di perjalanan sekaligus melatih kemampuan menulis.
Tentunya aku tidak langsung menutup laptop. Aku lanjutkan menulis setidaknya sampai bagian ini. Ketika aku hendak menutup ceritaku, obrolan bapak-bapak di sebelah pun semakin seru dengan topik seperti pemerintahan SBY, kerajaan-kerjaan kuno di Indonesia, ESQ, dan berbagai hal-hal menarik lainnya.
Pembicaraan yang sangat menarik, tapi sepertinya tidak semua cerita menarik cocok ditranslasikan ke berbagai medium. Ada cerita yang cocok menjadi karya sastra, ada juga yang cocok menjadi film, video game, atau bahkan cerita yang cocok menjadi lagu. Tapi tanpa kita sadari, atau mungkin hanya aku saja yang tidak menyadarinya, cerita yang paling banyak dan paling menarik di dunia hanya bisa disampaikan di momen-momen acak, oleh orang yang acak juga.
Konklusi yang aneh, tapi dengan pikiran itulah aku mengakhiri sesi mengetik acak ini. Lalu bagaimana dengan sisa tujuh jam perjalananku? Aku bisa saja mendengar dongeng bapak-bapak di sebelah, membaca dongeng dari Mary Shelley, atau pergi tidur dan berharap Dewi Fortuna memindahkan keberuntunganku ke alam mimpi dengan cerita yang indah. Pilih yang mana?
Originally published at www.fahmitsu.com on June 11, 2015.