Kendaraan Umum — Solusi Ekonomis, Ergonomis, dan Melankolis

Mohammad Fahmi
5 min readApr 10, 2016

Kendaraan umum adalah sebuah anugerah. Berkat kendaraan umum, masyarakat bisa berpergian tanpa perlu mengeluarkan uang jutaan — atau bahkan miliaran — demi membeli kendaraan pribadi. Tapi mungkin tanpa kita sadari, kendaraan umum juga merupakan anugerah lain. Melalui kendaraan umum, seseorang bisa saja menemukan teman baru, bertemu belahan hati, atau — kalau dilihat dari sisi gelap — kehilangan berbagai benda berharga. Selain menemukan hal baru dan kehilangan hal lama, kendaraan umum pun memiliki sihirnya sendiri, sebuah sihir untuk membangkitkan kenangan akan hal-hal tidak penting di kehidupan kita.

Hal ini aku rasakan di sebuah hari Minggu. Beberapa tahun terakhir aku menghabiskan entah berapa hari atau bahkan minggu mengemudikan kendaraan sendiri dan terjebak kemacetan, tapi di hari Minggu tersebut, keadaan memaksaku untuk menggunakan kendaraan umum, dan layaknya orang Indonesia zaman sekarang, tentunya aku memilih menggunakan transportasi yang dipesan menggunakan internet.

Petualangan pertamaku dimulai dengan perjalanan menggunakan Go-Jek. Aku sudah terlambat untuk bertemu dengan teman, jadi meskipun motor bukanlah metoda transportasi favoritku, menumpang motor adalah pilihan paling logis. Entah sudah berapa lama semenjak terakhir aku naik motor, tapi perjalananku hari itu jelas penuh dengan pacuan adrenalin.

Begitu Go-Jek sampai di depan rumahku, yang kulihat adalah seorang pemuda dengan motor besar. Melihat ini membuatku memutuskan untuk mengucapkan satu kalimat ke pengemudi Go-Jek yang kutumpangi: “Bang, saya agak telat, jadi kalau bisa yah…”

“Oh oke!” jawab sang pengemudi Go-Jek dengan sigap karena mengerti maksudku.

Tidak hanya mengendalikan motor dengan kecepatan yang kuinginkan, Go-Jek tersebut juga mulai masuk ke gang-gang kecil yang sangat asing sekali. Di tengah gang sempit yang ramai dan penuh dengan naik turun tidak masuk akal, dia masih tetap memacu kecepatan tinggi.

Tiba-tiba saja sebuah kilatan memori langsung menyerangku. Gang sempit yang asing, anak-anak bermain di jalan yang penuh dengan sepeda dan motor berlalu-lalang, ibu-ibu bergosip sambil sesekali memerhatikan apa yang anak mereka lakukan. Entah kapan terakhir aku merasakan pengalaman seperti ini. Ketika kecil aku hobi sekali bersepeda ke tempat yang tidak aku kenal, melewati gang-gang yang sangat asing, dan sekadar berjalan-jalan tanpa peduli apa pun selain batas waktu pukul 5 sore di mana aku harus sudah di rumah, siap-siap mandi, dan minum teh hangat sambil sisa makanan sore.

Sekarang, setelah aku “dewasa”, jarang sekali aku mencoba-coba menjelajahi tempat baru, baik secara literal maupun secara metafora. Hidupku sudah cukup stagnan, penuh dengan rutinitas monoton, meskipun untuk standar masyarakat profesiku termasuk profesi yang sangat dinamis dibanding profesi lainnya di kota terkutuk ini. Setiap hari aku akan berangkat di jam yang kurang lebih sama, melalui jalan yang sama, pulang di waktu yang juga kurang lebih sama, dan tentunya melalui jalan yang sama juga.

Tidak banyak momen di mana aku bereksplorasi dengan bebas di kota liar ini, meskipun aku sudah memiliki moda transportasi sendiri yang lebih efisien untuk berjalan-jalan. Niat itu akan selalu dihantui ketakutan akan kemacetan serta waktu yang terbuang sia-sia, waktu yang ujung-ujungnya aku buang dengan sia-sia menjelajahi internet.

Perjalananku berlangsung cukup singkat, dan begitu sampai dan bertemu temanku, aku langsung melanjutkan perjalanan lagi menggunakan Uber dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kawanan ke kawanan lainnya.

Petualanganku hari itu pun hampir berakhir. Waktu menunjukkan lewat tengah malam. Aku dan tiga orang temanku sedang memandangi jalanan sepi Jakarta dari balkon McDonald’s Sarinah. Saat itulah aku melihat sebuah mobil putih mengetem di pinggir trotoar. “Angkot! Ya, kalau tengah malam ada angkot yang langsung bisa membawaku ke rumah dengan biaya murah. Tidak perlu memesan Uber dari sini!” ujarku pada ketiga kawanku.

Mereka cukup meragukan keputusanku yang dirasa tidak aman, tapi tentu saja tidak melarangku untuk melakukannya. Aku pribadi sangat tidak sabar untuk segera naik angkot tengah malam. Lagi-lagi, entah kapan sejak terakhir kali aku memilih moda transportasi yang satu ini. Setelah kami selesai mengobrol di McDonald’s, kawan-kawanku tersebut pulang dengan Uber, sedangkan aku duduk di kursi trotoar, sambil menunggu angkot datang dan memandangi manusia-manusia berlalu-lalang di jam yang bukan waktu wajar untuk berjalan-jalan.

Begitu angkotku datang, aku segera naik dan duduk di kursi favoritku — kursi di ujung belakang — dengan jendela yang dibuka lebar-lebar. Angkot tersebut sangat sepi, hanya berisi seorang supir dan kawannya di bangku depan, dua orang bapak-bapak yang hanya terdiam, serta seorang anak muda berwujud diriku yang termenung di ujung belakang kendaraan. Sambil menikmati malam, aku memutuskan untuk mendengarkan musik dari iPod yang sudah lama tidak kunyalakan.

Dalam sekejap saja aku langsung terlempar ke masa mudaku lagi. Kali ini aku terlempar ke masa SMA, masa-masa di mana aku sering pulang agak malam untuk latihan band dan harus mengendarai angkot cukup jauh untuk sampai ke rumah. Dinginnya angin malam yang tidak menyehatkan menerpa kulit tangan yang kutaruh di tepi jendela. Musik-musik dari playlist acak berputar di telinga dan kepalaku, seakan-akan menjadi soundtrack untuk menutup hariku yang penuh petualangan tersebut.

Ketika aku hampir sampai, iPod yang aku gunakan tiba-tiba memutar lagu “And We Got Older” dari Jim Guthrie. Huh tematik sekali dengan perasaanku saat ini, ujarku dalam hati. Begitu aku turun dari angkot, lagu tersebut masih berputar. Bahkan tepat ketika aku berjalan meninggalkan angkot, lagu itu mulai masuk ke bagian utama di mana alunan gitar Jim Guthrie terasa semakin intens, seakan-akan memacuku untuk berjalan dengan lebih tegap di tengah gelap dan sepinya malam.

Lagi-lagi perasaan nostalgia langsung membanjiri ingatanku dalam sekejap. Perasaan di mana aku merasa seperti sedang menjadi model video klip dari lagu yang aku dengar. Sebuah perasaan yang sangat sering aku rasakan ketika aku masih sering sekali berjalan kaki sebagai metoda transportasi utama. Lagu yang sangat aku sukai ini langsung berubah menjadi berkali lipat lebih nikmat dari biasanya. Sebuah perasaan yang sudah cukup jarang aku rasakan dengan begitu spontan.

Kini, tulisan ini aku tulis dalam Uber, di tengah hujan yang begitu deras membanjiri Jakarta. Memberikan pemandangan refleksi lampu mobil penuh warna ke aspal kelabu yang menyelimuti kota.

Mungkin saja tulisan ini tidak akan pernah selesai jika aku tidak pernah naik kendaraan umum. Karena bukan saja kendaraan umum memberikan solusi ekonomis dan ergonomis untuk kehidupan kota yang liar ini. Kendaraan umum juga tanpa kita sadari merupakan tempat paling banyak cerita disampaikan. Tanpa mengenal batas siapa yang menyampaikan dan siapa yang mendengarkan.

--

--

Mohammad Fahmi
Mohammad Fahmi

Written by Mohammad Fahmi

A boy trying to find himself and the others through words.

No responses yet