Hantu Kurikulum

Mohammad Fahmi
6 min readAug 30, 2015

--

Jika kamu berharap apa yang kutulis ini adalah sebuah kritik cerdas kepada sistem pendidikan di negara kita, mungkin tulisan ini tidak cocok untukmu. Tulisan ini bukanlah sebuah kritik terhadap siapapun, tapi merupakan sebuah cerita, sebuah pengalaman pribadi, tentang sesuatu yang kusebut hantu kurikulum. Nama tersebut bukanlah kiasan, tapi memang deskripsi apa adanya secara literal.

Kejadian ini terjadi ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ayahku dulu bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang … entah di bidang apa. Waktu SD aku tidak paham maksud dari bidang tersebut meskipun semua orang langsung berdecak kagum ketika mendengarnya, dan kini ketika aku sudah SMP, dia tidak lagi bergelut di bidang itu dan aku terlalu malas untuk mengingat-ingatnya atau bertanya tentang hal tersebut. Yang jelas, akibat pekerjaan ayahku dulu, keluarga kami sering sekali berpindah-pindah domisili sampai-sampai dari enam tahun SD, aku merasakan sekolah di empat kota yang berbeda.

Entah kenapa. setiap sekolah yang sempat aku tempati selalu memiliki sebuah kesamaan, semuanya angker. Mulai dari di Jakarta, Bandung, Cirebon, sampai Yogyakarta, selalu saja seluruh murid membicarakan tentang bagaimana angkernya sekolah. Guru tentu saja tidak mengiyakan, sedangkan para karyawan berkata lain. Tapi tahu apa sih guru, mereka kan tidak tinggal atau menginap di sekolah seperti para karyawan.

Tadinya aku tidak percaya sama sekali dengan cerita ini, tapi semuanya berubah ketika aku mengikuti kegiatan Persami di sekolahku yang di Bandung. Ketika aku hendak kembali dari toilet ke ruang kelas tempat reguku tidur, aku melihat kelas yang dipenuhi murid dengan berbagai seragam. Ada yang berbeda dengan murid-murid tersebut, tapi aku tak tahu apa yang membuat mereka tampak berbeda.

Meskipun sangat takut, aku penasaran sekali dengan apa yang mereka lakukan. Secara mengejutkan, kelas tersebut tengah belajar tentang sejarah Budi Utomo. Lebih mengejutkannya lagi, mereka belajar menggunakan buku seperti yang kumiliki!

Ketika sedang memperhatikan kegiatan tersebut, salah seorang murid melihatku, aku pun bingung harus melakukan apa. Murid tersebut melakukan sesuatu yang tidak kuduga, dia mengedipkan matanya ke arahku! Aku pun langsung berlari kembali ke kelas dan mencoba mengubur memori itu dalam-dalam. Melihat hal tersebut membuat jurit malam yang berlangsung beberapa jam sesudahnya terasa seperti mainan anak-anak.

Setelah pindah dari Bandung ke Cirebon, SD yang kutempati pun memiliki cerita yang sama. “Sekolah ini angker,” kurang lebih begitu obrolan sehari-hari para murid dan karyawan. Detail mengenai ceritanya pun sama juga, sama-sama tidak ada yang pasti. Ada yang bilang dulu sekolah ini merupakan kuburan, bekas rumah sakit, atau bahkan bekas medan perang melawan penjajah. Entah memang kreativitas orang-orang kita yang terbatas, atau memang dana untuk membangun sekolah begitu terbatas sampai-sampai tidak ada sekolah yang dibangun di tempat yang normal.

Karena rasa penasaran yang luar biasa tinggi, dipadu dengan kenakalan yang luar biasa dan fakta bahwa sekolahku kini terletak begitu dekat dengan rumah, aku pun nekat untuk menyelinap keluar rumah dan masuk ke sekolah tengah malam. Keluar masuk sekolah di malam hari sangatlah mudah karena memang ada celah yang bisa dilewati anak SD di dekat tempat parkir guru.

Berbekal senter dan hafalan doa-doa sehari-hari aku pun mulai menjelajahi sekolah baruku tersebut. Benar saja, aku kembali menemukan kelas hantu yang kini tengah mempelajari topik lain. Sepertinya mereka telah selesai membahas soal Budi Utomo dan kini sedang membahas tentang penculikan Soekarno di Rengasdengklok, sama seperti pelajaranku minggu ini. Satu hal sangat mengejutkanku, meskipun fakta bahwa aku baru melihat hantu seharusnya sudah cukup mengejutkan, adalah kelas tersebut diisi oleh hantu-hantu yang sama dengan jumlah yang sedikit lebih banyak.

Akupun melihat hantu yang mengedipkan matanya kepadaku di Bandung dulu. Hantu tersebut melihatku dan memberikan kode untuk menunggu di depan kelas. Tidak lama kemudian si hantu itu maju menghampiri guru di depan kelas dan mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya keluar. Tunggu, apa dia minta izin untuk pergi ke toilet?! Pikirku dalam hati.

“Huuaaaah sudah lama juga aku nggak minta izin ke toilet, kangen juga rasanya,” ujar si hantu sambil meregangkan tubuhnya dan berjalan ke arahku. Aku hanya bisa terbengong-bengong melihat apa yang kusaksikan saat ini.

“Hei, kenapa bengong begitu, seperti baru melihat hantu saja, hahaha, mengerti maksudku? Baru melihat hantu, hahaha,” ujar si hantu yang ternyata luar biasa garing tersebut.

“Ha … halo,” aku berusaha menyapa si hantu.

“Halo juga, duh mana sopan santunku! Perkenalkan, namaku … duh aku lupa namaku siapa. Maklum, di kelas kami hanya perlu mendengarkan guru berbicara saja sih, jadi nama memang tidak terlalu berguna.”

“Oh …. oke.,” jawabku sambil masih terpana dengan apa yang kulihat.

“Jarang-jarang nih aku bertemu dengan murid yang sama di tempat yang begitu berbeda lebih dari sekali, apa kamu anggota Ghosbuster?”

“Hah?”

“Lupakan-lupakan, aku terlalu bersemangat sih karena sudah lama tidak mengobrol dengan orang.”

“Sebenarnya … kamu ini apa?” akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Eh … masa tidak tahu sih, aku ya hantu, kamu belum pernah lihat hantu ya?”

“Bukan begitu, aku memang belum pernah melihat hantu, tapi kenapa kamu mengikutiku dari Bandung sampai ke Cirebon?”

Heee, maksudnya apa? Aku nggak pernah ke mana-mana kok, apalagi sampai ngikutin anak yang hobi jalan-jalan ke sekolahan tengah malam ke luar kota,” jawab si hantu.

“Kalau begitu kenapa kamu bisa di sini? Ini kan bukan sekolah tempat aku terakhir melihatmu.”

“Apapun sekolahnya sama saja buat aku, yang penting kurikulumnya, karena semua sekolah di dunia hantu memang sama tergantung cara mengajarnya,” jelasnya.

Aku pun semakin penasaran, “jadi maksudmu, ke manapun kamu berangkat sekolahnya, sampainya akan selalu di sekolah yang memiliki kurikulum dan cara belajar yang sama?”

“Aku tidak mengenal istilah berangkat sih, pokoknya tiba-tiba saja begitu sadar aku sudah berada di kelas dan tengah mendengarkan pelajaran sejarah tentang peristiwa G30SPKI, bosan sekali mendengarkan pelajaran yang sama terus menerus setiap hari.”

“Eh yang benar? Tadi waktu aku mengintip gurunya tengah mengajarkan tentang Rengasdengklok lo, dan waktu di Bandung guru yang sama tersebut tengah mengajarkan tentang pendirian Budi Utomo.”

“Wah enak sekali kamu bisa belajar hal yang baru tiap ke sekolah, aku setiap hari hanya mendengarkan hal yang sama terus menerus.”

“Ngomong-ngomong, kamu tadi kan izinnya pergi ke toilet, apa gurumu tidak akan marah kalau kamu malah menghabiskan waktu mengobrol di depan kelas?”

“Oh jangan khawatir kalau itu, entah mengapa para guru tidak bisa melihat ke luar kelas, tugas mereka hanya mengajar dan mengomeli murid saja. Berbeda denganku yang tugasnya hanya mendengarkan pelajaran, tidur, atau melamun memandangi luar kelas, makanya aku bisa melihatmu.”

Obrolan itu betul-betul terasa aneh untukku. Bagaimana cara hantu ini hidup terasa begitu abstrak dan tidak jelas. Tapi tidak butuh waktu lama sampai kami berdua sudah menjadi akrab dan mulai mengobrol tentang banyak hal.

Hantu itu memiliki tontonan favorit yang sama denganku, walaupun entah mengapa dia hanya bisa mengikuti sampai episode yang telah ditayangkan dua tahun lalu. Di luar itu dia tidak bisa menonton lagi karena telah menjadi hantu. Aku pun menyeritakan kelanjutan cerita acara tersebut dan dia tampak begitu bersemangat mengikutinya.

Tidak terasa sudah hampir dua jam kami mengobrol. Aku pun memutuskan untuk pulang. Kalau aku tidak tidur, bisa-bisa aku kesiangan besok pagi. Setelah mengucapkan selamat tinggal, kami pun berpisah.

Setelah itu setiap minggunya aku selalu menyempatkan diri untuk mampir ke sekolah tengah malam. Setiap bertemu, aku selalu bercerita tentang cerita terbaru dari kartun favorit kami, sedangkan dia tidak memiliki cerita baru sama sekali selain urusan G30SPKI sesuai yang diajarkan kurikulum 1994.

Bertahun-tahun sudah aku menjalani kegiatanku ini, bahkan setelah pindah ke Yogyakarta pun aku masih bertemu si hantu itu dengan cara yang sama. Cukup datang ke sekolah tengah malam, maka dia akan ada di sana bersama kelasnya yang semakin hari semakin ramai. Sang guru pun mengajarkan pelajaran sejarah yang aku pelajari minggu itu, tapi bagi si hantu, yang dia dengar hanyalah pelajaran G30SPKI saja.

Masuk tahun ajaran baru 2004, tiba-tiba saja kelas teman lain alamku itu menghilang. Bersamaan dengan diterapkannya kurikulum baru yang diberi nama KBK, menghilang juga si murid yang mempelajari tentang sejarah G30SPKI secara abadi. Dengan menghilangnya temanku itu, menghilang juga kebiasaanku untuk mengunjungi sekolah tengah malam.

Beberapa tahun sesudah selesainya aktivitas rutinku, aku kembali berkesempatan untuk menginap di sekolah karena kegiatan klub. Iseng-iseng aku pun mencari apakah masih ada kelas hantu seperti yang pernah kulihat bertahun-tahun lalu. Tanpa diduga-duga, kelas ekstra untuk para makhluk halus telah dibuka lagi. Bedanya, aku tidak melihat teman baikku itu, yang kulihat hanyalah anak-anak lain, dengan guru lain, yang mempelajari sejarah dengan buku baru.

Mungkin saja begitu kurikulum berganti, para hantu tersebut baru bisa pergi ke alam lain, pikirku dalam hati. Menulis kisah ini betul-betul membuka mataku. Perubahan kurikulum rupanya tidak hanya bagus untuk pendidikan manusia di dunia saja, siapa sangka kurikulum ternyata juga bisa mempengaruhi mereka yang ada di sana.

Originally published at www.fahmitsu.com on August 30, 2015.

--

--

Mohammad Fahmi
Mohammad Fahmi

Written by Mohammad Fahmi

A boy trying to find himself and the others through words.

No responses yet